Selasa, 13 November 2012

TITIK BALIK

25 tahun. Mungkin disinilah titik balik kehidupan saya. Perubahan itu pasti. Dan disini saya sebut titik balik karena ada banyak hal yang harus saya putuskan dengan berani. Semua yang pada akhirnya mempengaruhi jalan hidup saya ke depan. *** Saya memutuskan untuk menikah di usia 24. Cukup umur memang, tapi tidak terlalu tua (setidaknya di jaman ini). Bahkan sebagian orang masih terkeju ketika tahu saya sudah menikah. Pernikahan itu mau tidak mau merubah arah pola pikir saya. Bukan hanya bicara tentang mimpi saya tapi juga mimpinya. Bukan hanya melulu mimpi dia tapi juga mimpi kami. Dan mimpi kami sederhana. Sebuah keluarga kecil yang bahagia. Ada senyum hangat sang istri yang menyambut sang suami ketika lelah bekerja. Ada celoteh anak kecil yang selalu menyegarkan suasana. Kebahagiaan keluarga dalam kehangatan sebuah rumah dan lingkungan yang nyaman. Meraih hal sederhana itulah yang esensial bagi kami. Tapi terkadang meraih kesederhanaan itu tak semudah meraih mimpi akan kemewahan yang semu ya. Sulit...bukan berarti kami tak berusaha. Banyak hal yang butuh sekedar peluh tapi juga tangan Tuhan. Dan doa adalah kekuatan kami. Saat itu menjelang ulang tahun saya ke 25, suami bertanya apa keinginan saya. Saya terdiam. Berpikir apa lagi yang belum saya miliki. Hamil. Saya ingin menjadi wanita seutuhnya. Dan dia pun sempat terdiam ketika mendengar keinginan saya. Mungkin Ia sedikit kebingungan karena tak bisa membeli apa yang saya inginkan di mall atau toko. Tapi seketika kemudian dia mengamini. Mengamini keinginan saya sebagai sebuah doa. Doa akan mimpi kami. Mimpi kami berdua. Pagi itu ucapan ulang tahun dari suami menyambut saya, tepat saat saya terbangun dari tidur. Bahagia dan syukur saya panjatkan. Sekaligus berdebar karena tepat di hari itu saya akan mencoba. Mencoba satu alat yang sudah dibeli beberapa minggu yang lalu. Sebelumnya meski penasaran, saya enggan mencoba. Takut kecewa. Kali ini saya bertekat harus mencoba alat itu untuk mengobati rasa penasaran saya. Perasaan kecewa tepat di hari ulang tahun sempat terbayang. Tapi saya memberanikan diri meski masih terlambat datang bulan satu pekan. Suami pun ikut berdebar ketika menunggu saya keluar dari kamar mandi. Sementara saya di dalam kamar mandi, mencoba mempraktikkan instruksi yang tertera di kemasan, sambil mengingat betul indikatornya: dua berarti positif dan satu berarti negatif. Saya hampir tak percaya ketika dua garis itu terpampang jelas di layar indikator. Saya keluar perlahan dari kamar mandi sambil menunjukkan indikator hasilnya. Suami segera menyambut saya dengan senyum terlebarnya. Dia berusaha meyakinkan saya yang masih merasa tak percaya. Senang, bahagia, terharu, tak percaya, rasanya campur jadi satu. Ya, saya hamil. Hadiah terindah yang diberikan Tuhan tepat di hari ulang tahun saya :) Rasanya Tuhan begitu baik. Setiap keinginan saya selalu dipenuhi. Dan janin ini adalah satu kepercayaan besar buat saya. Kalau saya mengabaikan, menyepelekan, atau bahkan menyianyiakannya rasanya berdosa sekali. Dan saya sadari...hidup saya harus mulai ditata lagi. Tidak bisa lagi saya menomorsatukan loyalitas pada tugas kantor. Pulang di atas jam8 malam. Membawa lelah dan beban pikiran sisa pekerjaan yang belum beres. Apalagi berkeliaran liputan di lapangan. Mungkin calon ibu yang lain bisa melakukannya. Tapi tidak dalam kacamata seorang ibu ideal di mata saya. Terlalu konvensional mungkin pikir orang. Tapi biarlah. Saya dibesarkan dengan kebiasaan konvensional itu. Dan seperti itulah pandangan ibu ideal menurut saya. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti dari pekerjaan saya. Pekerjaan yang dulu saya impikan. Pekerjaan yang sudah saya lakoni lebih dari 2tahun. Saya berhenti bukan di saat saya bosan, tapi saat saya merasa cukup. Kesempatan jenjang karir yang lebih tinggi tidak sedikitpun menjadi penghambat saya. Kebahagiaan bagi saya sesederhana udara yang kita hirup setiap hari. Bukan serumit tumpukan materi dan puja-puji. Saya tahu, perubahan itu pasti. Saya harus melangkah. Melepaskan mimpi yang sempat saya genggam. Dan kembali berlari mengejar mimpi yang lain. Bukan lagi hanya mimpi saya. Tapi juga mimpi kami. Saya berhenti bekerja saat usia kandungan saya 4bulan. Masih belum terlalu besar memang. Tapi saya pikir itu waktu yang tepat. Saya tahu saya harus beradaptasi dengan masa peralihan ini. Dari yang tadinya begitu aktif di luar menjadi di rumah saja. Di rumah, saya tidak bisa hanya diam, menonton TV, tidur, bangun, lalu menonton TV lagi. Sayangnya saya bukan orang yang bisa seperti itu. Syukurlah masih ada yang percaya kepada saya untuk bekerja meski hanya sebagai freelance. Di rumah pun ada banyak sekali pekerjaan rumah tangga yang cukup menyita waktu dan tenaga. Meski begitu kadang masih saja terasa ada yang hilang. Kehangatan teman-teman kantor. Proses kerja yang saya lakukan sebenarnya sama saja. Jam yang saya gunakan pun tak jauh beda. Saya cukup disiplin bekerja dari jam9-12 lalu istirahat sampai jam13 dan melanjutkan pekerjaan saya sampai maghrib. Tidak jauh beda dengan jam kantor sebelumnya. Hanya saja tidak ada keakraban canda tawa teman-teman kantor karena saya hanya sendiri di dalam rumah. Saya tidak bohong kadang rasa sedih itu datang. Rasa sepi dan sendiri. Kalau sudah seperti itu saya kelewat manja. Entah ini bawaan hamil atau tidak. Yang jelas saya jadi memaksa suami cepat pulang, tidak boleh lembur meski sebenarnya harus. Kadang saya suka mengarang alasan sendiri agar suami nggak jadi lembur. Rasanya penghibur sepi saya cuma dia. Mendadak dunia saya jadi sempit. Hingga saya sadari satu hal. Janin di perut saya semakin besar. Semakin aktif. Dan sekarang saya sudah bisa merasakan tendangannya yang semakin sering. Kadang perut saya jadi bergelombang karena tingkahnya yang nggak bisa diam. Sundul sana, sundul sini, tendang sana, tendang sini, perut saya pun nyembul berkali-kali. :) Manisnya. Dan saya pun sadar dialah alasan besar saya untuk membuang rasa sepi dan sendiri itu. Ketika perasaan sepi dan sedih itu mulai datang. Saya datang ke depan cermin. Melihat pantulan bayangan perut saya yang makin besar. Mengajaknya berbicara lalu tersenyum sendiri. Saya tahu seharusnya saya tidak boleh bersedih lagi. Anugrah terindah ini adalah sumber kebahagiaan dan semangat baru untuk melangkah. Melangkah menuju satu jenjang kehidupan yang lebih tinggi lagi. Menjadi seorang ibu. Bismillahirrahmanirrahim. Tuntun selalu hamba pada jalanMu.

Jumat, 09 November 2012

Saya Bahagia

Saya dan eskpresi saya akhir-akhir ini memang tidak bisa berbohong. Meski deadlen di depan mata, meski objek huntingan dibatalkan, atau harus mengejar berita nun jauh di ujung bekasi, atau harus bangun pagi2 demi masak untuk suami dan berangkat pagi2 biar ga telat sampe kantor. Semua aktifitas yang bikin capek itu rasanya ringan aja loh. Hari-hari saya isi dengan senyuman. Apa sebabnya coba kalo bukan karena...saya bahagia.

Ya..SAYA BAHAGIA. Alhamdulillah. :) Dulu berjuta bayang-bayang menyeramkan menghantui saya. Cucian makin banyakkk...strikaan makin banyakkk...suami yang cerewet soal masakannn...cek-cok karena perbedaan pendapat atau sifat asli yang muncul setelah pernikahan yang tidak saya sukai. Ada yang bilang menikah itu seperti membeli kucing dalam karung. Kamu tidak akan pernah tahu sebelum kamu membelinya. Kamu baru bisa membuka karung setelah membayar tunai. Begitu juga dengan menikah. Baik dan buruk pasangan adalah konsekuensi yang harus diterima.

Setiap orang yang akan menikah pasti harap-harap cemas. Jangan-jangan salah langkah. Dan setelah satu bulan lebih =(masih satu bulan siihh ) saya menjalani pernikahan ini saya bersyukur. Suami saya sosok pemimpin yang pengertian. Tidak arogan seperti laki-laki umumnya. Dia juga terampil. Dia mau turun tangan ke dapur untuk membantu saya cuci piring. Dia juga mau membantu menghabiskan tumpukan baju yang belum disetrika. Dia juga mengerti dan tidak meminta untuk dibuatkan masakan saat kerjaan saya sedang deadline. Dia mau jau-jauh menjemput meski harus berputar arah 2x lipat untuk menjemput saya yang kemaleman karena deadline. Dia malah membantu beberapa pekerjaan saya. Menemani keliling untuk hunting. Bahkan di waktu weekend yang seharusnya bisa dipakai untuk istirahat. Meskipun saya tahu sikap yang dia tunjukkan berkebalikan dengan keinginannya untuk memiliki istri yang bekerja dari rumah saja. Yah...mungkin saat ini belum bisa seideal itu. Tapi ternyata...semua itu tetap bisa indah..karena ada pasangan yang mau mengerti, yang selalu mendukung kita, yang selalu mendampingi, dan bersedia berbagi suka ataupun duka.

Menikah mungkin lebih dari sekedar memiliki teman satu rumah atau teman berbagi tempat tidur. Rumah hanyalah miniatur kecil dari bahtera kehidupan yang lebih besar lagi nantinya. Saling berbagi, saling mengisi segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Teorinya seperti itu. Tapi ke depannya apakah semudah itu? Semoga saj ya...Rasanya jika semua dilakukan dengan cinta dan keikhlasan hati, apapun hambatan nanti akan terasa ringan kan.

Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat, berkah, dan cinta yang mendekatkan kami kepada cintaNya. Amiiinn...

*catatan 14mei2012 disalin dari multiply

menghitung hari

"menghitung hari...detik demi detik..." akhir-akhir ini lagu itu akrab di telinga saya. Bukan karna sering muterin lagu KD di playlist tapi karena temen2 sekitar saya yang banyak menyanyikannya..spesial buat saya. Itu semua tak lain karena hari pernikahan saya makin dekat. Hehehe

Yap...H-15 menuju gerbang baru kehidupan saya. :) Semua persiapan hampir 80-90% selesai. Semua vendor sudah oke. Undangan juga sudah disebar. Rumah kontrakan tempat tinggal saya dan (masih calon) suami nanti sudah diisi. Meski tidak banyak, cukup minimalis, tempat tidur, lemari, ditambah kipas angin, TV, komp, dan barang-barang bawaan dari kosan masing-masing. Tidak terlalu banyak lagi yang harus dilakukan selain deg-degan dan banyak-banyak berdoa supaya acara pernikahan sekali seumur hidup saya lancar tanpa suatu halangan pun.

Hari ini juga hari terakhir saya kerja sebelum cuti panjang kurang lebih 3minggu. Sebelumnya saya sudah coba ngebut menyelesaikan semua tugas-tugas saya. Tapi toh di rumah malang nanti pasti saya masih tetep kerja. Setidaknya sampai H-10. Ya menyelesaikan jatah nulis edisi berikutnya. Hehehe...gini deh kerja di media. Pembaca mana tau reporternya mau merit apa sakit yg penting majalah terbit. Hahahaha...namanya juga dunia industri yah. Tapi setidaknya saya yakin ada teman-teman reporter lain yg peduli. Terimakasiiihhh :)

Agenda besok (jumat): beli tirai buat rumah & makan2 perpisahan sama temen2 kosan Agenda (sabtu): beberes rumah, masang tirai & dateng ke nikahan mantan temen kerja kiki Agenda minggu: berangkat dengan pesawat penerbangan pertama ke malang :) Saya udah ga sabar mencium aroma malang....semoga perjalanan pulang nanti lancar...amiiinn... :)

*catatan 22maret2012 disalin dari multiply

G A L A U

Coba tebak apa yang umumnya menggelayuti pikiran pasangan yang akan menikah kurang dari dua bulan lagi? Sekarang, setelah mengalaminya sendiri saya bisa bilang: “BANYAK!”

Kalau ada yang menebak kesibukan mempersiapkan pesta pernikahan?? rasanya nggak 100% benar juga. Saya malah udah mengesampingkan hal itu. Mau dekornya sederhana kek, atau bandnya biasa aj kek, saya pasrahh. Ya sudahlah…toh itu semua cuma akan terjadi satu hari saja. Masa sesudahnya lebih panjang dan berliku. Itu yang membuat saya pusing akhir-akhir ini.

Pertama soal rumah. Saat ini kami lagi konsen cari rumah kontrakan. Opsinya ada banyak. Mulai dari kos bareng (yang ini langsung dicoret si mas), rumah petakan tapi deket kantor (yang ini mas ogah2an buat bilang iya, aq juga sih), rumah sewa bulanan (yang ini karna mikir efektifitas bajet), sampai rumah yang nyaman tapi jauh dari kantor (kita semua setuju tapi cari rute terbaik). Proses nyarinya ternyata ga segampang beli kacang goreng ya. Ga cuma cocok di kantong tapi juga harus cocok sama kondisi rumah.

Aq hampir aja nyerah dan milih rumah yang pagarnya udah berkarat disana-sini, dinding yang udah lumutan, pokoknya udah ga terawatt banget. Semua hanya karena capek dan mulai nyerah buat nyari rumah yang pas. Tapi si mas yang ga tega ngontrakin saya rumah dengan kondisi yang mengenaskan. Memang kalau weekday waktu paling banyak kami habiskan di kantor. Tapi justru karena itu, setelah penat di kantor, sewaktu pulang kami ingin merasakan benar-benar seperti “pulang” ke “rumah”. Begitu juga kalau weekend, kami ingin benar-benar merasa nyaman di rumah. Karena kita berdua bukan tipe orang yang suka jalan di mall. Jadi, meskipun kecil, rumah harus benar-benar nyaman layaknya rumah pada umumnya.

Setelah muter sana sini, akhirnya pilihan jatuh juga sama rumah yang letaknya dekat sama stasiun sudimara. Memang kita agak kurang sreg sama lingkungan saat menuju rumah itu karena deket dengan stasiun dan pasar yang ramaii. Tapi akses buat aku kalopun nanti tetep kerja masih mudah. Ada kereta yang bisa menghubungkan ke lokasi-lokasi yang strategis. Rumahnya juga udah masuk cluster kecil yang ada satpam di depan. Jadi insyaAllah aman. Toh…nggak ada yang sempurna kan. Selama kekurangannya masih bisa ditoleransi yah gpp.

Dan kegalauan nggak berhenti di masalah rumah aja. Tapi juga tentang diri saya sendiri. Saya pun sempet jadi labil ababil. Kemarin bilang A, besoknya merasa B, lusanya sudah jadi C. Rasanya saya jadi ABG banget. Sayangnya bukan umurnya tapi pikirannya. Eitsss…tapi jangan berpikir saya ragu dengan sosok yang sudah saya pilih. Syukurlah semakin hari saya semakin mantab membangun rumah tangga dengannya.

Yang saya galaukan adalah pilihan tentang karir saya. Tetap bekerja itu pasti. Karena saya bukan tipe orang yang bisa diam di rumah dengan hanya menonton infotaiment dan sinetron. Oh God I’m not . Tapi yang saya galaukan adalah bekerja di perusahaan orang atau bekerja di perusahaan sendiri. Lalu tetap di bidang yang saya jalani saat ini, atau kembali pada bidang yang sesuai dengan background saya sebelumnya. Arghhh…labilll….

Kontrak kerja saya berakhir tepat seminggu sebelum saya menikah. Dan keputusan perusahaan untuk memutus kontrak, lanjut kontrak dengan istirahat sebulan, atau mengangkat sebagai karyawan tetap, baru diberitahukan di awal Maret. Itupun kadang molorrr sampai pertengahan atau akhir bulan menjelang kontrak berakhir.Sementara itu tawaran lain pun datang. Saya semakin punya banyak pilihan. Bersyukur karena masih bisa memilih, ya. Tapi juga makin bingung karena makin banyak pilihan. MAKIN LABILLLL

Yah, pilihan itu memang agak menyilaukan sih. Satu kesempatan dimana saya harus memilih antara uang atau kesempatan. Antara bermain di zona aman atau mencoba tantangan baru. Dan saya sempet agak sayang waktu tawaran itu berlalu yang sedikit banyak karena kesengajaan saya sendiri. Karena bagi saya uang bukan segalanya. Dan saya bukan orang cengeng yang tidak mau beranjak dari zona nyaman. Tapi dia tidak bisa menunggu saya, atau tepatnya keberatan dengan tawaran terakhir yang saya ajukan. Hmm….Ya mungkin namanya bukan rejeki. Ya sudah…Tapi kadang saya masih terngiang-ngiang dengan kata “CLOSED” di akhir emailnya. HAHAHA

Mungkin saya cuma kurang pasrah. Kurang yakin dengan apa yang sebenarnya hati kecil saya inginkan. Begitu takut dengan banyak hal. Maaf Tuhan, tidak pernah sedikitpun terbersit di benakku untuk mengabaikan kuasamu. Engkaulah yang berkehendak atas segala sesuatu Bantu saya untuk mengerti selalu ada cerita yang indah di setiap rencanamu.

*catatan 17feb2011

semua akan baik-baik saja

Ada kecemasan yang menyelinap di benak saya pagi tadi. Entah kenapa sepertinya ada sesuatu yang dengan tiba-tiba menimpa dada saya. DUB! Berat dan membuat saya susah bernapas. Kecemasan yang datang ketika saya mengingat sesuatu.

Saya sudah memantabkan hati saya untuk melakukan keputusan itu nanti. Keputusan yang sudah saya pikirkan sebelumnya. Dan menurut pertimbangan saya, saat itu adalah waktu yang tepat. Saya bahkan sudah merencanakan beberapa hal setelah keputusan itu saya laksanakan. Tapii...mendadak saya merasa harus mereview rencana itu lagi. Berpikir lagi apakah keputusan yang akan saya lakukan itu sudah benar. Sebelum benar-benar dilaksanakan toh masih ada kesempatan untuk menimbang-nimbang kan. Masih ada waktu untuk berpikirrr...Dan itulah yang merenggut energi saya pagi ini.

Sudah 3 bulan saya nggak ngeprint buku tabungan. Dan buku tabungan memang sudah saatnya ganti. Buku rekening bank pertama lembarnya sudah hampir habis, sedangkan buku rekening kedua sudah buluk gara-gara kehujanan waktu itu. Ya sudah akhirnya, pagi itu saya putuskan ke bank sambil memindahkan sejumlah uang dari "rekening konsumtif" ke "rekening saving". Saya juga penasaran berapa nominal uang yang sudah saya tabung. Setelah buku tabungan diprint semua. Baru terlihat secara nyata berapa jumlah uang yang saya miliki saat itu. Bagi saya tidak sedikit sih (untuk ukuran saya yah), tapi juga tidak banyak juga untuk ukuran orang yang akan punya hajat besar dalam hidupnya. Hffhhhh...

Setelah sekian lama diliatin...dan berpikir tentang rencana saya ke depan...keluarlah daftar panjang yang ingin saya lakukan. Barang-barang utk persiapan hajat besar hingga sejumlah nominal untuk investasi. Dan saya stuck...menghela nafas panjang...saya menutup buku tabungan itu. Toh angkanya nggak akan berubah setelah saya mengedipkan mata. Sekelebat bayangan foya-foya saya kemarin hadir lagi. Sebenarnya bukan foya-foya sih...cuma sekedar refreshing dari kepenatan kerja. Itu yang sering jadi pembelaan saya. Tapi saya tetep nyesel kenapa ga dari dulu-dulu saya disiplin buat menyisihkan lebih banyak lagi. Saya yakin kalau itu saya lakukan angka di tabungan saya bisa bergerak setidaknya 2tingkat lagi lah... Hfffhhh....

Saya pun rasanya ingin memaki diri saya sendiri yang nggak bersyukur. Sudah banyak yang Dia beri. Masiiihhh saja nggak bersyukur. Kalau dibandingkan orang lain toh sebenarnya apa yang saya alami nggak parah-parah juga. Tapi tetap saja...masalah itu mengganjal. Membuat saya setengah hati untuk menjalankan apa yang akan saya putuskan nanti.

Saya benci kalau harus melakukan sesuatu tidak dari hati. Saya benci kalau saya ingin beranjak tapi tidak bisa. Saya tidak ingin tertahan hanya karena uang. Bukan uang penentu kebahagiaan saya. Tapi saya manusia yang sungguh lemah. yang kadang takut, ragu, cemas. Karena saya tidak memegang buku skenario yang bisa saya intip kapan saja. Saya hanya bisa menulis di atas angin. Menggantungkan rencana yang tidak pasti.

Bukankah keraguan saya ini wajar Tuhan? Bukankah rasa takut ini juga wajar? Jangan Kau ombang-ambingkan hatiku. Engkaulah pemilik hati yang mampu membolakbaliknya kapanpun. Engkaulah penguasa alam semesta yang kuasa memberi apapun yang aku minta. Saya hanya menjalani hidup ini sekali. Setidaknya biarkan saya memiliki satu-satunya hak saya...MEMILIH. Memilih jalanMU. Mampukan saya untuk menetapkan hati ini. Lapangkan hati saya untuk rencanaMU yang lebih besar. Hfffhhh...

everything is gonna be alright kan Allah??? everything is gonna be alright kan?? tolong bisikkan itu di telinga saya... dan hembuskan ketenangan dalam hati saya...

*catatan 1des2011 disalin dari multiply

RESIGN

RESIGN.

Kata itu beberapa bulan ini akrab di telinga saya. Tidak hanya di tempat kerja tapi juga di KOS-tempat tinggal saya saat ini. Dalam lima bulan terakhir ini kurang lebih ada 10 rekan saya yang resign dari tempat kerjanya. Alasan resign mereka bermacam-macam. Ada yang resign karena ingin fokus pada “karir” barunya sebagai istri. Ada yang resign karena harus kembali ke kota asalnya karena orang tua sakit parah. Ada juga yang resign karena lebih memilih profesi lain yang lebih menantang. Bahkan ada yang resign karena ingin melupakan mantan pacar di satu kantor yang akan segera menikah.

Entah kenapa bermacam-macam alasan itu muncul dalam waktu yang berdekatan, di saat saya memutuskan untuk tetap berada di posisi aman. Dari mereka yang resign, 6 diantaranya resign tanpa ada kepastian dari perusahaan baru yang akan menggandengnya sebagai pekerja. Itu keputusan yang sangat berani, menurut saya. Tidak mudah tentunya bagi seorang pegawai yang sebelumnya “aman” dengan jatah setiap bulan, kemudian harus mengambil resiko bertahan dengan penghasilan tidak tetap dari job lepas (freelance), bahkan mungkin tanpa penghasilan sama sekali.

Saya acungkan jempol untuk mereka yang berani stand up dan membuat pilihan itu. Menurut saya, seseorang yang bisa dengan berani membuat pilihan yang dia inginkan tanpa takut untuk kehilangan nominal yang ia butuhkan, sesungguhnya adalah orang yang kaya - terlepas dari berapapun tabungan yang dia miliki. Semua itu memang pilihan hidup. Tidak ada yang berhak menghalang-halangi keputusan itu. Tidak seorang bos sekalipun.

***

RESIGN

Saya ingat saya pernah melakukannya. Satu kali dulu. Waktu pertama kali bekerja di sebuah PMA (Perusahaan Milik Asing) Italia. Hanya 1,5 bulan, sebelum akhirnya saya membuat keputusan bulat bahwa itu bukan dunia saya. Saya memilih satu kesempatan lain yang sudah saya impikan sebelumnya. Berat rasanya waktu memutuskan mengatakan hal itu pada bos saya. Saya tahu bos saya berharap banyak pada saya yang harus menggantikan posisi pekerja sebelumnya. Tapi toh dia tidak bisa menahan saya, dan memang tidak berniat menahan siapapun yang sudah tidak ingin bekerja dengannya. Ya buat apa ditahan-tahan kalo memang sudah tidak ingin kerja lagi kan. Mungkin itu yang ada dalam pikirannya.

Tapi ternyata, toh tidak semua manajemen perusahaan bisa dengan lapang dada melepaskan pegawainya. Perusahaan tempat teman dekat saya bekerja contohnya. Setelah memenuhi prosedur untuk mengajukan surat resign sebulan sebelumnya, dia akan menerima sindiran2 nggak enak sebulan sebelum dia hengkang. Katanya nggak butuh lah, buat apa bertahan, dsb. Kadang saya heran dengan manajemen perusahaan yang seperti itu. Harusnya mereka bangga ketika pegawai didikannya mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Artinya perusahaan itu tidak sia-sia mendidik pegawainya sehingga diakui perusahaan lain. Tapi toh tidak semua bos perusahaan bisa berpikiran seperti itu. Ada yang merasa rugi kalau tidak “memeras” pekerjanya sampai habisbisbis. Kasian ya buat perusahaan yang seperti itu. Merasa kaya padahal miskin.

***

RESIGN

Saya pernah melakukannya, karena itu saya tahu kapan keputusan itu harus benar-benar diambil. Dulu sebelum saya resign dari pekerjaan yang lama, saya memang merasakan beberapa hal. Saya sering malas bangun ketika pagi. Bahkan merasa sedikit trauma sampai sekarang ketika mendengar bunyi penjual roti. Bunyi-bunyian penjual roti itu mengingatkan saya bahwa hari sudah pagi, dan artinya juga saya harus melangkahkan kaki saya ke tempat yang sejujurnya tidak saya minati.

Saya juga merasakan badan saya mulai aneh. Mulai tidak nafsu melihat makanan dan merasa cepat kenyang. Alhasil badan pun mengurus. Saya merasa sering sakit perut. Hingga pada puncaknya saya merasa perlu check up, tes urine, untuk meyakinkan kondisi kesehatan saya. Hasilnya, saya baik-baik saja. Aneh kan, padahal saya merasa tubuh saya sakit. Yahh…mungkin psikis saya yang sedang “sakit”. Tersenyum setiap saat tapi sesungguhnya ada sesuatu yang tertahan.

Ya. Saya merasa pekerjaan yang saya terima waktu itu tidak tepat. Meski menjanjikan karir dengan standar sebuah PMA. Tapi, toh pekerjaan lebih dari sekedar karir kan.Saya harus menikmatinya. Saya bukan orang yang mudah nrima begitu saja. Jangan harap saya menyerah dan bilang “Ya sudah lah, alhamdulillah udah dapet kerjaan ini. Cari kerjaan kan susah.” No saya bukan orang seperti itu.

Dan untungnya pekerjaan yang saya impikan datang juga. Meski sedikit terlambat, tapi tentu saya tidak ingin membuang kesempatan itu. Dengan tekat bulat saya mengatakan pada bos saya. I’m sorry. Akhirnya saya resign setelah saya menerima gaji pertama saya yang utuh. Bye. Setelah itu saya menjalani hidup baru dengan pekerjaan baru.

***

RESIGN

Mau tak mau akhir-akhir ini saya harus memikirkan kata itu lagi. Entahlah. Saya telah menggenggam mimpi saya dengan berada di posisi ini. Tapi bukankah waktu terus berlalu dan saya bukan berubah tapi juga ikut tumbuh. Baik itu perasaan saya, pikiran saya, juga lingkungan saya. Ada banyak yang saya pikirkan, lebih dari sekedar karir, salary atau beban kerja. Sebuah pilihan hidup untuk melangkah.

Apapun itu saya rasa tidak baik jika seseorang berhenti lalu merasa cukup padahal sebenarnya ia bisa berkembang lebih. Saya mulai merisaukan banyak hal. Hingga saya sadari saya mulai mengalaminya lagi. Trauma dengan pagi. Merasa sakit meski tak benar-benar sakit.

Untungnya masih ada yang mengingatkan saya makan. Setidaknya masih ada yang membuat saya sedikit lupa akan hal itu. Tapi toh lupa itu tidak bisa membuat saya lari. Masalah itu akan tetap ada disitu, tetap seperti itu, jika saya diam dan tak coba mengatasinya. hpfhhh... Saya tahu saya harus segera membuat keputusan.

*catatan 31juli2011 disalin dari multiply

pergi ke poli gigi puskesmas

Hari ini saya mencoba dokter gigi yang ada di puskesmas. Pertimbangan pemilihan puskesmas adalah karna MURAH! Yg jelas lebih murah dari dokter gigi spesialis. Lagipula saya nggak merasa sangat urgen utk pergi ke dokter gigi spesialis. Keluhan saya cuma membetulkan tambalan gigi lama yg sprtinya mulai bermasalah lagi. Yg sakitnya sesekali masih bisa ditahan dgn p*nst*n. Saya ke puskesmas ini untuk pertama kalinya. Puskesmas di kota orang yang kebetulan lokasinya dekat dengan kos-an saya. Saya datang sendiri, antri sendiri, bingung2 sendiri, mengandalkan kemampuan bertanya -yang ternyata tidak semua sesama pasien itu ramah. Apalagi yang sakit gigi. Ya sudahlah gpp. Saya bersyukur saja masih bisa tersenyum ramah meski menahan lapar dan tidak terkena pengaruh p*nst*n pagi ini. Puskesmas. Layanan kesehatan masyarakat yang murah. Saya berangkat jam 7.30. Karena jalan kaki sekitar 15 menit kemudian saya baru sampai di puskemas. Dan ternyata...sudah sangatt antriiii. Hwaahh..syok saya, ga nyangka orang sakit banyak banget yah. Waktu daftar administrasi karna baru pertama kalinya saya ga tau harus gimana. Katanya sih suruh nunggu dipanggil. Tapi ga dipanggil-panggil juga. Sampe akhirnya orang yang 6 no di blkg saya punya inisiatif maju duluan bwt nanya. Dan tnyata dilayani. Ealah...saya kirain bener2 antri..tnyata langsung maju aj tho. Y wes lah gpp namanya juga pertama kali. Saya menghibur diri sediri. Antri ke poli giginya ternyata cukup lama. Saya pikir waktu naik ke tempat poli gigi sudah tinggal menunggu max 5 nomor lagi lah. Ternyata yang dipanggil baru no1. OMG padahal saya no 25. Oalah yo sabar saja lah. Akhirnya waktu tunggu itu diisi dgn nulis blog ini. Hehehe... Waktu nunggu di poli gigi ada anak kecil yg bilang ke ibunya "ma...gigi aku copot ya", dia bilang dengan bangganya. Hmm...dia mengingatkan saya akan masa kecil saya. Dulu waktu kecil SD kira2, saya ke poli gigi juga ditemani ibu saya. Saya menunggu juga sambil ngantuk2. Waktu itu bukan buat tambal gigi. Gigi saya masih bagus banget wktu itu. Masih gigi susu sih. Hehe... Saya kesana justru untuk cabut gigi susu yg saking kuatnya ga maw copot, padahal gigi yg baru udah tumbuh. Bahasa jawanya "kesundulan". Dan cabut gigi itu sakit. Saya masih inget saya nangis kenceng waktu sebelum dan sesudah dicabut. Gabungan perasaan takut dan sakit. Sempurna sudah. Saya pun nangis sejadi-jadinya. Sampai dokter giginya BT kali ya. Jadinya judes banget deh. Padahal kan waktu itu saya masih kecil. Setelah dicopot sambil berusaha menghapus air mata dan sedikit ingus, saya pulang. Sama ibu juga pastinya. Pulangnya naik becak. Becak banyak banget waktu itu. Kena semilir angin sepoi2 rasa sakitnya pelahan hilang. Mungkin cuma rasa canggung si lidah karena kehilangan gigi saja yang masih tersisa. Hmm...dan lagi2 semua itu membuat saya kangen...sangat kangen...buat pulang. Meski sekarang puskesmas itu sudah pindah, ga disitu lagi. Saya kangen jadi kecil dan ditemani ibu ke dokter gigi. Kangen naik becak dgn semilir angin sepoinya. Ahh...sakit gigi membuatku rindu kampung halaman. *catatan 14des2010 disalin dari multiply